Hujan sore itu tidak deras. Tapi cukup membuat Samarinda -- kota saya-- terasa lebih sepi dari biasanya. Di sela aroma tanah basah, saya duduk di ruang praktik sederhana—hanya satu soa recliner, 2 buah kursi dan satu meja, ditambah harum aroma seperti di bandara, aroma teh melati keraton.
Pintu terbuka pelan. Seorang perempuan masuk dengan jaket tipis yang basah di bahu. Langkahnya pelan. Senyumnya sopan, tapi matanya… mata orang yang terlalu sering memendam.
“Kalau hujan begini biasanya sakit saya tambah parah,” katanya sambil mengusap pergelangan tangannya.
Bukan hanya tangannya. Kadang pundak. Kadang punggung. Kadang perut. Semuanya bergantian. Tapi yang aneh, semua hasil pemeriksaan medisnya bagus. Sangat bagus. Tidak ada persoalan syaraf, Tidak ada organ rusak. Tidak ada tanda infeksi.
“Dokter bilang saya sehat. Tapi tubuh saya seperti protes,” ia menambahkan. Léon Chertok, psikiater Prancis yang puluhan tahun meneliti psikosomatik menuturkan “Tubuh adalah cermin yang memantulkan pikiran.” Luka di pikiran bisa menjelma jadi rasa sakit di tubuh—meski tubuhnya sendiri baik-baik saja.
Setelah penggalian dan menyepakati capaian terapi, proses hipnoterapi dimulai, Saya memintanya duduk nyaman. Mata tertutup. Napas diatur pelan. Saya membimbingnya memasuki kondisi relaksasi yang dalam—tapi ia tetap sadar. Ini bukan sulap. Bukan tidur. Ini hipnoterapi.
Kata-kata saya mengalir pelan, seperti air yang mencari celah. Mengajak napas panjang. Mengajak mengingat. Mengajak menerima. Perlahan, ia “pulang” ke masa yang lama ia hindari. Ke peristiwa yang ia pikir sudah ia lupakan. Ke luka yang ia simpan rapat. Air matanya jatuh. Bersama itu, napasnya mulai tenang. Ia bilang, nyeri di tubuhnya tiba-tiba mengecil—tidak hilang, tapi berkurang banyak.
Journal of the Royal Society of Medicine tahun 1981. Dokter J.B. Wilkinson mencatat, pasien dengan keluhan psikosomatik mengalami perbaikan signifikan setelah hipnoterapi. Puluhan tahun kemudian, Flammer dan Alladin (2007) mengumpulkan 21 penelitian. Hasil meta-analisis mereka menunjukkan effect size 0,61—kategori sedang ke tinggi. Dalam bahasa sederhana: efeknya nyata.
Dan ini bukan sekadar “sugesti manis”. Dalam kondisi trance, sistem saraf parasimpatis aktif. Otot-otot melemas. Tekanan darah turun. Hormon kortisol menurun. Tubuh mendapat sinyal aman.
Erika Fromm, psikolog yang dijuluki “ratu hypnoanalysis”, menyebut hipnosis sebagai “jalan raja menuju bawah sadar.” Di jalan itulah, saya mengajak klien saya menemukan pola lama yang merusak, lalu menukarnya dengan pola baru yang lebih sehat.
Saya selalu tekankan: hipnoterapi bukan pengganti pengobatan medis. Saya tidak “mengobati” penyakit. Saya membantu pikiran untuk berhenti mengirim sinyal bahaya yang keliru—yang selama ini diterjemahkan tubuh menjadi rasa sakit.
Karena itu, sebelum sesi, saya pastikan klien sudah diperiksa dokter. Tidak ada penyakit fisik yang terabaikan. Setelah itu, barulah saya mulai bekerja di ranah yang sering terlupakan: pikiran bawah sadar.
Sesi kami berlangsung hampir 2 jam. Saat ia membuka mata, wajahnya terlihat lebih rileks. “Entah kenapa… badan saya lebih nyaman, ringan, seperti beban berat hilang,” katanya sambil tersenyum.
Saya hanya mengangguk. Kadang tubuh memang memarahi kita dengan caranya sendiri—mengirimkan rasa sakit ketika kita menolak mendengar suara hati.
Seminggu kemudian, saya menerima pesan darinya. “Mas… saya mau cerita. Tadi pagi saya bangun, nyerinya tinggal sedikit. Tapi yang lebih aneh, saya mimpi ketemu ayah saya. Dia sudah meninggal waktu saya SMP. Di mimpi itu, dia minta maaf. Dan saya memaafkan.”
Saya membaca pesannya pelan. Tidak ada yang bisa memastikan apakah itu hanya mimpi atau bagian dari proses bawah sadar yang terbuka saat sesi kami. Tapi saya tahu satu hal: sejak itu, tubuhnya jauh lebih tenang.
Josephine R. Hilgard, peneliti hipnosis di bidang nyeri: “Kadang rasa sakit bukan minta diobati, tapi minta didengar.” Dan mungkin, hipnoterapi adalah cara terbaik saya untuk benar-benar mendengarkannya.
Aditya Lesmana
0812 8269 1163